Selasa, 13 Desember 2011 merupakan hari buruk yang tidak akan pernah
dilupakan bagi komunitas punk di Aceh, Indonesia bahkan mungkin dunia.
Tindakan polisi syariah Aceh yang menghakimi 64 punker memicu reaksi
keras baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Hari itu, 59
lelaki punker harus rela rambut mohawk kebanggaannya dicukur habis oleh
para aparat polisi. Sementara 5 pemudi punker lainnya hanya bisa pasrah
ketika rambut mereka harus dipotong pendek. Tak cukup sampai di situ, 64
punker itu digiring ke danau untuk membersihkan badan dan akhirnya
berganti pakaian untuk melaksanakan sholat.
Wakil walikota
Aceh, Illiza Sa’aduddin, menyatakan bahwa dirinya tidak keberatan untuk
turun langsung "membersihkan" para punker tersebut demi keamanan dan
kenyamanan kota Banda Aceh. “Keberadaan komunitas punk mengganggu
ketenteraman masyarakat Banda Aceh. Ini adalah penyakit sosial tipe
baru. Jika komunitas ini terus dibiarkan ada, pemerintah terpaksa
mengeluarkan lebih banyak uang untuk menangani mereka,” ujar Illiza
kepada Jakarta Globe seperti dikutip KapanLagi.com®.
Syariah
Islam menjadi tameng utama bagi pemerintah Aceh untuk membersihkan Punk
dari bumi Aceh. Para punker ini dianggap melanggar peraturan setempat,
Aceh memang daerah yang memberlakukan aturan syariah Islam dalam
menjalankan pemerintahan. “Moral mereka salah. Pria dan wanita berkumpul
bersama, itu melawan Syariah Islam. Kemungkinan ada dua ratus anak punk
di daerah ini. Kami akan terus melakukan razia sampai semuanya
tertangkap, lalu kami akan membawanya ke penampungan untuk dididik
ulang," ujar Illiza.
Punk
merupakan sub-budaya yang lahir di London, Inggris dan akhirnya
berkembang ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Punk mulai merambah ke
kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta,
Denpasar, Malang dan lain-lain sejak awal tahun 90an. Menurut Didit,
salah satu pentolan Skinhead di Malang, keberadaan punk di Aceh sudah
terjadi sejak sekitar tahun 1998. Didit berulang kali berhubungan dengan
para punker Aceh dengan cara surat menyurat.
"Sebenarnya
komunitas punk keberadaannya sudah cukup lama di Aceh, karena dulu
sekitar tahun 1998 saya sering menerima surat-surat dari punk Aceh dan
acara punk pun sering digelar disana," ujar Didit yang juga pentolan
grup No Man's Land.
Didit juga mengharapkan hukum yang
adil dan tidak pandang bulu dapat berlaku di negeri ini. "Bila memang
hukum harus ditegakkan, maka tegakkanlah dengan keadilan. Jangan tegas
kalau berhadapan dengan si lemah namun lunak jika menangani yang kaya.
Kalau memang punk harus ditangani seperti itu, tangani juga mereka yang
sudah jelas-jelas pelaku kriminal, para pengemplang uang rakyat" papar
Didit.
Masuknya punk di Aceh memang terbentur dengan
peraturan setempat yang menerapkan syariah Islam. Sebenarnya hal ini
pernah ditanggulangi oleh komunitas punk muslim di dunia, alkuturasi
budaya lah yang diterapkan disini. Beberapa punk di belahan dunia
sebenarnya mampu menerapkan perbedaan itu menjadi paduan yang unik. Jadi
jangan kaget bila di suatu daerah terdapat komunitas punk muslim yang
sedang melakukan pengajian bersama.
Kejadian yang menimpah
punk aceh itu tidak hanya jadi topik pembicaraan punk di Indonesia.
Beberapa media Internasional seperti New York Daily, The Telegraph,
Washington Post, Daily Mail, Sydney Morning Herald, CBS News menganggap
peristiwa tersebut merupakan pelanggaran HAM. Bahkan salah satu band
punk asala Amerika Serikat yang sangat populer, Rancid,
menyempatkan untuk berkicau melalui akun Twitter resmi mereka. "We hate
what's going on with our punk brothers and sisters in Indonesia.
Rancid's got your back!" tulis Rancid.
Penangangan
aparat yang dirasa berlebihan ini dikhawatirkan malah berdampak negatif
terhadap kelanjutan kasus ini di kemudian hari. "Punk bukanlah
kriminal, kalau melihat tayangan-tayangan itu mereka layaknya para
kriminal, yang patut diingat mereka adalah generasi bangsa juga seperti
yang lain, salah penanganan dan penindakan akan hanya melahirkan dendam
dan menghancurkan masa depan mereka yang berbanding lurus dengan masa
depan bangsa ini," pungkas Didit.
Lalu, bagaimana
pendapat Anda? Benarkah Punk adalah penyakit sosial tipe baru yang
memang harus diberantas atau mereka hanya sekelompok anak muda yang
meyakini Punk sebagai minat mereka, tanpa ada keinginan membuat resah
publik? Suarakan pendapat Anda via kolom komentar! Kita peduli Punk
seperti halnya kita peduli dengan segala bentuk ekspresi lainnya kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar